Selasa, 29 Oktober 2013

FLAVONOID: Isolasi dan Pemurnian Senyawa Flavonoid

Senyawa flavonoid yang tidak tahan panas, selain itu senyawa flavonoid mudah teroksidasi pada suhu yang tinggi.
Isolasi flavonoid umumnya dilakukan dengan metode ekstraksi, yakni dengan cara maserasi atau sokletasi menggunakan pelarut yang dapatmelarutkan flavonoid. Flavonoid pada umumnya larut dalam pelarutpolar, kecuali flavonoid bebas seperti isoflavon, flavon, flavanon,dan flavonol termetoksilasi lebih mudah larut dalam pelarut semipolar. Oleh karena itu pada proses ekstraksinya, untuk tujuanskrining maupun isolasi, umumnya menggunakan pelarut methanol atauetanol. Hal ini disebabkan karena pelarut ini bersifat melarutkan senyawa–senyawa mulai dari yang kurang polar sampai dengan polar. Ekstrak methanol atau etanol yang kental, selanjutnya dipisahkankandungan senyawanya dengan tekhnik fraksinasi, yang biasanyaberdasarkan kenaikan polaritas pelarut (Monache, 1996).
            Senyawa flavonoid diisolasi dengan tekhnik maserasi,mempergunakan poelarut methanol teknis. Ekstraksi methanol kental kemudian dilarutkan dalam air. Ekstrak methanol–air kemudian difraksinasi dengan n-heksan dan etil asetat. Masing–masing fraksiyang diperoleh diuapkan, kemudian diuji flavonoid. Untuk mendeteksiadanya flavonoid dalam tiap fraksi, dilakukan dengan melarutkansejumlah kecil ekstrak kental setiap fraksi kedalam etanol.Selanjutnya ditambahkan pereaksi flavonoid seperti : natriumhidroksida, asam sulfat pekat, bubuk magnesium–asam klorida pekat,atau natrium amalgam–asam klorida pekat. Uji positif flavonoidditandai dengan berbagai perubahan warna yang khas setiap jenisflavonoid (Geissman, 1962). 
Metode yang biasa digunakan dalam mengisolasi senyawa flavonoid adalah dengan mengekstrak jaringan segar dengan metanol. Terhadap bahan yang telah dihaluskan, ekstraksi dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan metanol:air (9:1) dilanjutkan dengan metanol:air (1:1) lalu dibiarkan 6-12 jam. Penyaringan dengan corong buchner, lalu kedua ekstrak disatukan dan diuapkan hingga 1/3 volume mula-muIa, atau sampai semua metanol menguap dengan ekstraksi menggunakan pelarut heksan atau kloroform (daIam corong pisah) dapat dibebaskan dari senyawa yang kepolarannya rendah, seperti lemak, terpen, klorofil, santifil.
Cara lain yang dapat dipakai untuk pemisahan adalah ekstraksi cair-cair, kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas. Isolasi dan pemurnian dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas preparatif dengan pengembangan yang dapat memisahkan komponen paling baik (Harborne, 1987). Flavonoid (terutama glikosida) mudah mengalami degradasi enzimatik ketika dikoleksi dalam bentuk segar. Oleh karena itu disarankan koleksi yang dikeringkan atau dibekukan. Ekstraksi menggunakan solven yang sesuai dengan tipe flavonoid yg dikehendaki. Polaritas menjadi pertimbangan utama. Flavonoid kurang polar (seperti isoflavones, flavanones, flavones termetilasi, dan flavonol) terekstraksi dengan chloroform, dichloromethane, diethyl ether, atau ethyl acetate, sedangkan flavonoid glycosides dan aglikon yang lebih polar terekstraksi dengan alcohols atau campuran alcohol air. Glikosida meningkatkan kelarutan ke air dan alkohol-air. Flavonoid dapat dideteksi dengan berbagai pereaksi, antara lain:
a.       Sitroborat
b.      AlCl3
c.       NH3
Sebelum melakukan suatu isolasi senyawa, maka yang dilakukan adalah ekstraksi terlebih dahulu.

Ada beberapa jenis isolasi pada flavonoid, di antaranya sebagai berikut :
1. Isolasi Dengan Charaux Paris
Serbuk tanaman diekstraksi dengan metanol,lalu diuapkan sampai kental dan ekstrak kental ditambah air panas dalam volume yang sama, Ekstrak air encer lalu ditambah eter, lakukan ekstraksi kocok, pisahkan fase eter lalu uapkan sampai kering yang kemungkinan didapat bentuk bebas. Fase air dari hasil pemisahan ditambah lagi pelarut etil. asetat diuapkan sampai kering yang kemungkinan didapat Flavonoid O Glikosida. Fase air ditambah lagi pelarut n - butanol, setelah dilakukan ekstraksi, lakukan pemisahan dari kedua fase tersebut. Fase n-butanol diuapkan maka akan didapatkan ekstrak n - butanol yang kering, mengandung flavonoid dalam bentuk C-glikosida dan leukoantosianin. Dari ketiga fase yang didapat itu langsung dilakukan pemisahan dari komponen yang ada dalam setiap fasenya dengan mempergunakan kromatografi koLom. Metode ini sangat baik dipakai dalam mengisolasi flavonoid dalam tanaman karena dapat dilakukan pemisahan flavonoid berdasarkan sifat kepolarannya.
 
2. Isolasi dengan beberapa pelarut.
Serbuk kering diekstraksi dengan kloroform dan etanol, kemudian ekstrak yang diperoleh dipekatkan dibawah tekanan rendah. Ekstrak etano lpekat dilarutkan dalam air lalu diekstraksi gojog dengan dietil eter dan n-butanol, sehingga dengan demikian didapat tiga fraksi yaitu fraksi kloroform, butanol dan dietil eter.
 
PERMASALAHAN:
1. Dari permasalahan di atas diketahui bahwa isolasi suatu senyawa flavonoid itu dilakukan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Bagaimana cara kita mengetahui pelarut-pelarut apa saja yang sesuai untuk isolasi dan pemurnian senyawa flavonoid dan aturan apa saja yang harus dipenuhi oleh suatu pelarut untuk bida digunakan sebagai pelarut flavonoid?
2. Berdasarkan artikel di atas untuk mengisolasi senyawa flavonoid adalah dengan methanol-air. ekstraksi dilakukan dalam dua tahap. Yaitu dengan metanol:air (9:1) dilanjutkan dengan metanol:air (1:1). Yang menjadi permasalahannya, mengapa pada proses isolasi senyawa flavonoid dilakukan dua tahap dengan perbandingan methanol-air yang berbeda? Apa pengaruh perbedaan perbandingan metanol:air (9:1) dan metanol:air (1:1) terhadap isolasi flavonoid?
3. Diketahui bahwa Senyawa Flavonoid merupakan senyawa yang tidak tahan panas, selain itu senyawa flavonoid juga mudah teroksidasi pada suhu yang tinggi. Namun, pada proses isolasi dilakukan proses penguapan yang mungkin bisa merusak struktur dari flavonoid itu sendiri. bagaimana cara kita untuk menstabilkan flavonoid agar stabil terhadap pemanasan pada setiap isolasi flavonoid?

Selasa, 08 Oktober 2013

TERPENOID: Penentuan Struktur Senyawa Terpenoid

Keterkaitan antara biosintesis, metode isolasi, dan penentuan stuktur senyawa bahan alam sangatlah erat. Dapat dikatakan ketiga proses tersebut terjadi secara berurutan. Suatu senyawa bahan alam terlebih dahulu di sintesis agar diketahui proses/ reaksi kimia yang terjadi dalam memperoleh senyawa kimia yang diinginkan. Setelah itu diisolasi dengan metode tertentu agar dapat dipisahkan dari senyawa lain yang terkandung di dalamnya. Dengan melakukan isolasi suatu senyawa, maka kita dapat menentukan struktur dari senyawa tersebut.
Contoh:
Isolasi serbuk kering kulit batang tumbuhan kecapi (2,5 kg) menggunakan metoda maserasi dengan pelarut heksan pada suhu kamar selama 4 x 72 jam, kemudian ekstrak heksan yang diperoleh dilakukan evaporasi memakai penguap vakum (rotary evaporator) diperoleh ekstrak kering heksan sebanyak 38 g. Selanjutnya ampas direndam kembali dengan pelarut etil asetat pada suhu kamar selama 4 x 72 jam, kemudian ekstrak etil asetat yang diperoleh dilakukan evaporasi dan diperoleh ekstrak kering etil asetat sebanyak 102 g.
Hasil pemurnian 15 g ekstrak etil asetat dengan metoda kromatografi kolom gravitasi dan pengelusian dilakukan secara bergradien menggunakan pelarut heksan, etil asetat dan metanol diperoleh 485 vial/10 mL. Selanjutnya setelah vial dikeringkan, pada dinding vial nomor 57 terbentuk kristal berwarna putih kekuningan. Kemudian vial nomor 57 dianalisis dengan KLT dan terdapat noda tunggal. Kemudian dilanjutkan dengan pencucian dengan heksan diperoleh kristal murni berwarna putih berbentuk jarum sebanyak 32 mg.
Sebelum dilakukan elusidasi struktur senyawa hasil isolasi dengan spektroskopi terlebih dahulu dilakukan identifikasi dengan menggunakan pereaksi Liebermann-burchard, hasil identifikasi terbentuk bercak warna merah, hal ini menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi merupakan senyawa golongan triterpenoid. 


Pengukuran titik leleh senyawa hasil isolasi adalah 224 -226 oC , dengan range titik leleh 2 oC mengindikasikan bahwa senyawa hasil isolasi relatif murni. 
Senyawa golongan triterpenoid jarang yang dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis disebabkan karena strukturnya yang tidak menyerap sinar UV-Vis (Kristanti dkk, 2008). Gambar spektrum ultra violet senyawa hasil isolasi menunjukkan, lmax (log e, nm ): 203 nm. Dari data tersebut menunjukan bahwa senyawa hasil isolasi adalah golongan triterpenoid.
Spektrum IR memperlihatkan pita serapan yang melebar pada bilangan gelombang, u max      : 3453 cm-1 , mengindikasikan adanya gugus hidroksil, pita serapan pada bilangan gelombang, u   max     : 2930 cm-1, merupakan serapan dari C-H alifatik, pita serapan pada bilangan gelombang, u max : 1691 cm-1, merupakan serapan dari C=O dari asam karboksilat yang diperkuat dengan adanya pita serapan pada bilangan gelombang, u m ax : 1114 cm-1, pita serapan pada bilangan gelombang, u   max   : 1454 cm-1 CH2 dan pita serapan pada bilangan gelombang, u max : 1384 cm-1 merupakan serapan dari C-H tekuk dari geminal dimetil yang merupakan ciri khas senyawa triterpenoid yang mendukung data spektroskopi ultra violet. 
 
Penentuan struktur terutama dilakukan dengan metoda spektroskopik dan difraksi.
·           Spektroskopi IR
Spektrofotometri inframerah  digunakan untuk identifikasi suatu senyawa melalui gugus fungsinya. Untuk keperluan elusidasi struktur, daerah dengan bilangan gelombang 1400 – 4000 cm-1 yang berada dibagian kiri spektrum IR, merupakan daerah yang khusus berguna untuk identifikasi gugus-gugus fungsional, yang merupakan absorbsi dari vibrasi ulur. Selanjutnya daerah yang berada disebelah kanan bilangan  gelombang 1400 cm-1 sering kali sangat rumit karena pada daerah ini terjadi absorbsi dari vibrasi ulur dan vibrasi tekuk, namun setiap senyawa organik memiliki absorbsi yang kharakteristik pada daerah ini. Oleh karena itu bagian spektrum  ini disebut daerah sidikjari (fingerprint region). Saat ini ada dua macam instrumen yaitu spektroskopi IR dan FTIR (Furier Transformation Infra Red). FTIR lebih sensitif dan akurat misalkan dapat membedakan bentuk cis dan trans, ikatan rangkap terkonyugasi dan terisolasi dan lain-lain yang dalam spektrofotometer IR tidak dapat dibedakan.
·           Spektroskopi UV
spektroskopi ultra violet memiliki kemampuan untuk mengukur jumlah ikatan rangkap atau konyugasi aromatik didalam suatu molekul. Daerah panjang gelombang dari spektrum ultra violet berkisar 200 - 400 nm. Penyerapan sinar ultra violet oleh suatu molekul akan menghasilkan transisi diantara tingkat energi elektronik molekul tersebut. Transisi tersebut terjadi pada orbital ikatan atau pasangan elektron bebas dengan orbital anti ikatan.


·           Spektroskpi NMR
Spektroskopi NMR memberikan gambaran mengenai atom-atom hidrogen dalam sebuah molekul. Spektroskopi NMR merupakan suatu metode Spektroskopi yang didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh inti-inti dalam molekul organik bila berada dalam medan magnet yang kuat.


·           Spektroskopi massa
Spektometer massa adalah suatu instrumen yang dapat menyeleksi molekul-molekul gas bermuatan berdasarkan massa atau beratnya. Teknik ini tidak dapat dilakukan dengan spektroskopi, akan tetapi nama spektroskopi dipilih disebabkan persamaannya dengan pencatat fotografi dan spektrum garis optik. Umumnya spektrum massa diperoleh dengan mengubah senyawa suatu sampel menjadi ion-ion yang bergerak cepat yang dipisahkan berdasarkan perbandingan massa terhadap muatan.
Proses ionisasi menghasilkan partikel-partikel bermuatan positif, dimana massa terdistribusi adalah spesifik terhadap senyawa induk. Selain untuk penentuan stuktur molekul, spektum massa dipakai untuk penentuan analisis kuantitatif.
Ada beberapa cara lain dalam penentuan struktur senyawa organik :
a. Uji titik leleh campuran
Metoda ini didasarkan prinsip bahwa titik leleh padatan paling tinggi ketika padatan itu murni. Bila dua sampel A dan B memiliki titik leleh yang sama, maka ditentukan titik leleh A murni, B murni dan campuran sejumlah sama A dan B. Bila hasil ketiganya sama, terbukti bahwa A dan B identik.
b. Penggunaan turunan padatan
Bila sampelnya berwujud cairan atau gas, metoda titik leleh campuran tidak dapat digunakan. Bila sampel gas atau cairan memiliki gugus fungsi yang reaktif, sampel ini dapat diubah menjadi padatan yang mungkin menghasilkan kristal yang indah. 
c. Perbandingan sifat fisik
Sifat fisik lain seperti titik didih, indeks bias, momen dipol, dan rotasi spesifik untuk senyawa yang optik aktif dapat memberikan onformasi yang bermanfaat. Data semacam ini dapat memberikan informasi pda sifat keseluruhan molekul. Kadang, sifat molekul keseluruhan dapat merupakan jumlah dari berbagai kontribusi bagian-bagian senyawa.
d. Reaksi kualitatif
Penentuan struktur senyawa organik meliputi dua pendekatan. informasi struktur secara kasar didapat dengan penentuan massa molekul, analisis unsur. informasi tentang molekul secaraa keseluruhan dan substituennya didapatkan secara seiring.
Contoh khasnya adalah deteksi gugus karbonil (aldehida -CHO dan keton -C=O) dengan menggunakan reaksi cermin perak dan uji Fehling. 
 
PERMASALAHAN:
Pada artikel diatas dikatakan bahwa penentuan struktur senyawa triterpenoid dalam kulit batang tanaman kecapi tidak dapat ditentukan dengan analisis spektroskopi UV-Vis karena tidak dapat menyerap sinar UV-Vis. Jadi, apa yang menjadi dasar dari penentuan struktur triterpenoid dari kulit batang tanaman kecapi ini serta analisis apa yang digunakan?
Permasalahan lanjutan, dari beberapa metode analisis untuk penentuan struktur senyawa bahan alam, yang dalam artikel ini berupa senyawa triterpenoid dikatakan masing-masing analisis itu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Misalnya pada spektroskopi IR yang diidentifikasi adalah gugus fungsinya, pada spektroskopi yang diidentifikasi adalah ikatan rangkap. Jadi, bagaimanakah kekhasan signal dan intensitas serapan dari senyawa golongan triterpenoid dengan metode analisis yang digunakan?




















Jumat, 04 Oktober 2013

TERPENOID: Bioaktifitas Senyawa Terpenoid

ALGA MERAH G.verrucosa sebagai AGENT ANTIBAKTERI 


Dalam tumbuhan biasanya terdapat senyawa hidrokarbon dan hidrokarbon teroksigenasi yang merupakan senyawa terpenoid. Kata terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan, dan istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua senyawa tumbuhan itu berasal dari senyawa yang sama. Jadi, semua terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2==C(CH3)─CH==CH2 dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan 2 atau lebih satuan C5 ini. Kemudian senyawa itu dipilah-pilah menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan yang terdapat dalam senyawa tersebut, 2 (C10), 3 (C15), 4 (C20), 6 (C30) atau 8 (C40). Dapat kita lihat contoh senyawa terpenoid pada alga merah, yang mana artikel berikut berasal dari penelitian orang lain.
Alga hijau, alga merah ataupun alga coklat merupakan sumber potensial senyawa bioaktif yang bermanfaat bagi pengembangan industri farmasi seperti sebagai anti bakteri, anti tumor, anti kanker dan industri agrokimia (Putra, 2006). Jenis-jenis rumput laut dari ketiga golongan tersebut mempunyai potensi ekonomis penting, karena kandungan senyawa kimia yang merupakan hasil metabolisme primer (Jasuda.net, 2008). G.verrucosa termasuk alga merah (Rhodophyta) yang berpotensi mengandung senyawa metabolit primer. Riset-riset terutama diperlukan untuk mencari bahan baku industri, senyawa bioaktif, pengembangan produk-produk turunan berbasis alga, dan mempelajari misteri dan keunikan-keunikan alga dalam hubungannya sebagai bagian dari ekosistem.
Salah satu pengembangan dari pemanfaatan jenis alga merah G.verrucosa antara lain adalah penggunaan ekstrak-nya sebagai agent antibakteri, yaitu suatu zat yang mencegah terjadinya pertumbuhan dan reproduksi bakteri karena terdapat kandungan senyawa bioaktif terpenoid. Penyakit udang yang disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. masih menjadi fokus perhatian utama dalam produksi budidaya udang. Vibrio alginoliticus dan Vibrio anguillarum merupakan agen penyebab penyakit vibriosis yang menyerang hewan laut seperti ikan, udang, dan kerang-kerangan. Ekstrak G.verrucosa diduga bersifat antibakteri dan dapat mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen Vibrio alginoliticus dan Vibrio anguillarum.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengekstrak bahan aktif ekstrak alga merah G.verrucosa sebagai agent antibakteri. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode metode eksperimen yaitu yaitu mengadakan percobaan untuk melihat hasil. Hasil yang didapat akan menegaskan bagaimana hubungan kausal antara variabel - variabel yang diselidiki dan berapa besar hubungan sebab akibat tersebut dengan cara memberikan perlakuan tertentu pada beberapa kelompok eksperimental dan menyediakan kontrol untuk perbandingan (Nazir ,1988). Penelitian ini mengunakan metode eksperimen, sedangkan rancangan yang diunakan adalah Rancanan Acak lenkap (RAL) dengan 6 perlakuan masing-masing diulang konsentrasi 0%, 30%, 35%, 40%, 45%, dan 50% untuk bakteri Vibrio alginoliticus dan konsentrasi 30%, 35%, 40%, 45%, dan 50%.
Ekstraksi bahan aktif dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol menghasilkan ekstrak G.verrucosa yang diuji aktivitas antibakterinya terhadap bakteri Vibrio alginoliticus dan Vibrio anguillarum dengan metode dilusi. Hasil uji dilusi menunjukkan ekstrak G.verrucosa bersifat bakteriostatik menghambat pertumbuhan V. alginoliticus pada konsentrasi 40% dan V.anguillarum pada konsentrasi 30% (MIC V.alginoliticus 40%;MIC V.anguillarum 30%). Ekstrak G.verrucosa bersifat bekterisidal membunuh bakteri V.alginoliticus pada konsentrasi 45% dan V.anguillarum pada konsentrasi 35%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak G.verrucosa, maka semakin sedikit jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya zat antibakteri yang menghambat dan mematikan bakteri uji seiring dengan meningkatnya konsentrasi dari setiap perlakuan. Jawetz dan Aldelbergs, (1982) menjelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi antibakteri yang digunakan, maka kemampuan untuk membunuh bakteri semakin cepat. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak G.verrucosa dapat dikategorikan sebagai agent antibakteri dan bersifat antimikrobial. Kemampuan ekstrak G.verrucosa sebagai senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan kedua bakteri Vibrio adalah karena terdapatnya senyawa terpenoid. Simanjuntak (1995) menyatakan bahwa analisa kimia alga merah mengandung senyawa terpenoid, asetogenik maupun senyawa aromatik. Umumnya senyawa yang ditemukan pada alga merah bersifat anti mikroba, anti inflamasi, anti virus dan bersifat sitoksis. Terpen atau terpenoid aktif terhadap bakteri, fungi, virus, dan protozoa. Mekanisme kerja terpen belum diketahui dengan baik dan dispekulasi terlibat dalam perusakan membran sel oleh senyawa lipofilik (Indobic,2009). Mekanisme kerja antibakteri pada umumnya menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mengiritasi dinding sel, menggumpalkan protein bakteri sehingga terjadi hidrolisis dan difusi cairan sel yang disebabkan karena perbedaan tekanan osmose.

PERMASALAHAN:
Pada artikel diatas dijelaskan bahwa kemampuan G.verrucosa sebagai senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan kedua bakteri Vibrio ada karena terdapatnya senyawa terpenoid. Dan juga dijelaskan bahwa mekanisme kerja terpen belum diketahui dengan baik dan dispekulasi terlibat dalam perusakan membran sel oleh senyawa lipofilik (Indobic,2009). Mekanisme kerja antibakteri pada umumnya menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mengiritasi dinding sel, menggumpalkan protein bakteri sehingga terjadi hidrolisis dan difusi cairan sel yang disebabkan karena perbedaan tekanan osmose. Yang menjadi permasalahannya, bagaimana keterlibatan terpenoid dalam perusakan membran sel